بسم الله الرحمن الرحيم
Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya : Apa hukum tinggal di negara kafir?
Jawab:
Tinggal di negara kafir merupakan bahaya besar terhadap agama, akhlak, moral dan adab seorang muslim. Kita -juga selain kita- telah menyaksikan banyaknya penyimpangan dari orang-orang yang tinggal di sana, mereka kembali dengan kondisi yang tidak seperti saat mereka berangkat. Mereka kembali dalam keadaan fasik, bahkan ada yang murtad, keluar dari agamanya dan menjadi kufur terhadap Islam dan agama-agama lainnya, na’udzu billah, sampai-sampai mereka menentang secara mutlak dan mengolok-olok agama dan para pemeluknya, baik yang lebih dulu darinya maupun yang kemudian. Karena itu, hendaknya, bahkan seharusnya, mewaspadai hal itu dan menerapkan syarat-syarat yang dapat menjaga hawa nafsu dari perusak-perusak tersebut. Maka, tinggal di negara kafir harus memenuhi dua syarat utama:
Syarat Pertama:
Tetap memelihara diri pada agamanya, yaitu dengan memiliki ilmu, keimanan dan kekuatan tekad yang mengokohkannya tetap pada agamanya serta waspada terhadap penyimpangan dan penyelisihan, dan hendaknya pula terlindungi dari permusuhan dan kebencian kaum kuffar serta menjauhkan diri dari loyal dan mencintai mereka, karena hal ini akan meng-gugurkan keimanannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” [Al-Mujadilah: 22]
Dalam ayat lainnya disebutkan:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim. Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-oang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata, ‘ Kami takut akan mendapat bencana. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.” [Al-Ma’idah: 51-52].
Dalam sebuah hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan, bahwa barangsiapa mencintai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka: Seseorang itu bersama orang yang dicintainya. “[1]
Mencintai musuh-musuh Allah termasuk bahaya terbesar terhadap seorang muslim, karena mencintai mereka melahirkan sikap menyamai dan mengikuti mereka, atau minimal tidak mau mengingkari mereka, karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, yang maksudnya bahwa barangsiapa mencintai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.
Syarat Kedua:
Tetap menunjukkan agamanya, yaitu menampakkan simbol-simbol Islam tanpa ada halangan, sehingga tidak terhalangi untuk melaksanakan shalat, shalat Jum’at dan mengikuti berbagai perkumpulan jika ada jama ‘ah lain bersamanya yang mengikuti shalat Jum’at. Tidak terhalangi untuk menunaikan zakat, puasa, haji dan syi’ar-syi’ar lainnya. Jika tidak memungkinkan melaksanakan itu, maka tidak boleh tetap tinggal di sana, bahkan saat itu ia wajib hijrah (pergi dari sana).
Dalam kitab Al-Mughni (hal 457 juz 7, dalam bahasan tentang golongan manusia sehubungan dengan hijrah) disebutkan:
Pertama; wajib atasnya, yaitu yang mampu melaksanakannya dan tidak memungkinkan baginya menampakkan agamanya dan tidak memungkinkan melaksanakan kewajiban-kewajiban agamanya bila tetap tinggal di antara kaum kuffar. Untuk orang yang seperti ini wajib atasnya hijrah, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini.’ Mereka menjawab, ‘Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)’. Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali’.” [An-Nisa: 97]
Ini adalah ancaman keras yang menunjukkan wajib. Lagi pula, karena melaksanakan kewajiban agama hukumnya wajib atas yang mampu, sehingga hijrah termasuk sarana dan pelengkap kewajiban. Apa pun yang menyebabkan tidak sempurnanya suatu kewajiban kecuali dengannya, maka hal itu wajib pula.
Setelah terpenuhi kedua syarat utama ini, tinggal di negara kafir terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: Tinggal di sana untuk menyeru manusia kepada Islam dan mengajak mereka untuk menyukainya. Yang demikian ini termasuk jihad, hukumnya fardhu kifayah bagi yang mampu dengan syarat bisa melaksanakan dakwah dan tidak ada yang menghalanginya, karena menyeru kepada Islam termasuk kewajiban agama dan merupakan jalannya para rasul. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah memerintahkan untuk menyampaikan apa yang berasal dari beliau di setiap masa dan tempat, beliau bersabda: “Sampaikanlah apa yang berasal dariku walaupun hanya satu ayat.”[2]
Kedua: Tinggal di sana untuk mempelajari kondisi kaum kuffar, mengenai kerusakan aqidah mereka, kebatilan cara beribadah mereka, penyimpangan moral dan kekacauan perilaku mereka, hal ini dimaksudkan agar nantinya bisa memperingatkan manusia dari tipu daya mereka dan menjelaskan kepada orang-orang yang mengagumi mereka tentang hakikat kondisi mereka. Yang ini juga termasuk jihad, karena mengandung unsur peringatan terhadap kekufuran dan para pelakunya serta mencakup anjuran untuk menyukai Islam.
Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram
Catatan kaki:
[1]. HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab (6168), Muslim dalam Al-Birr (2640) dari hadits Ibnu Mas’ud. Al-Bukhari (6170), Muslim (2641) dari hadits Abu Musa. Juga yang semakna dengan ini diriwayatkan olen Al-Bukhari (6171), Muslim (2639) dari hadits Anas.
[2]. HR. Al-Bukhari dalam Ahadits Al-Anbiya (3461).