Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Test link

Memakmurkan kunyah Meninggalkan istilah "ustadz" untuk tamayyuz (membedakan diri), bukan berarti terlarang menggunakannya.

بسم الله الرحمن الرحيم


Gelar “Ustadz” Jangan Ditentang  Karena Dipakai Di Zaman Salaf Dan Tidak Dilarang


Ditulis Oleh: Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Qudsi Al Indonesiy - ‘Afallohu ‘Anhu -
 Di Markiz Dakwah Salafiyyah, Darul Hadits – Dammaj, Yaman Kamis 23 Shofar 1433H


Pengantar Penulis

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.
﴿ يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون﴾ .
﴿يا أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا ونساء واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام إن الله كان عليكم رقيبا﴾
﴿ يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا يصلح لكم أعمالكم ويغفر لكم ذنوبكم ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيما .﴾
أما بعد: فإن خير الحديث كلام الله وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وعلى آله وسلم وشر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار.

Telah sampai beberapa surat kepada ana yang berbicara tentang terjadinya silang pendapat tentang gelar “Ustadz” bagi seorang pengajar, dan apakah gelar tersebut termasuk syiar atau istilah yang dipakai Ikhwanul Muslimin? Apakah pemakaiannya termasuk tasyabbuh (menyerupakan diri) dengan mereka?

Sebenarnya sudah sejak lama ana mau menulis tentang ini sebagai jawaban terhadap tuduhan seorang ahlil ahwa dari Malang, akan tetapi sebagian meminta ana menundanya, sehingga ana memusatkan perhatian kepada tugas yang lain.

Pada hari-hari ini, saat tuduhan terhadap Ahlussunnah tentang bab ini makin gencar, ana merasa perlu untuk menulis sedikit pembahasan tentang hal ini, sesuai dengan keterbatasan waktu dan kemampuan, untuk menepis tuduhan kepada ana bahwasanya ana termasuk orang yang melarang pemakaian gelar USTADZ.

Rosululloh صلى الله عليه وسلم telah mensyariatkan bagi kita untuk menepis tuduhan atau dugaan yang tidak benar tentang diri kita. Shofiyyah رضي الله عنها berkata:

كان النبي صلى الله عليه و سلم معتكفا فأتيته أزوره ليلا فحدثته ثم قمت لأنقلب فقام معي ليقلبني وكان مسكنها في دار أسامة بن زيد فمر رجلان من الأنصار فلما رأيا النبي صلى الله عليه و سلم أسرعا فقال النبي صلى الله عليه و سلم على رسلكما إنها صفية بنت حيي فقالا سبحان الله يا رسول الله قال إن الشيطان يجري من الإنسان مجرى الدم وإني خشيت أن يقذف في قلوبكما شرا أو قال شيئا. (أخرجه البخاري (2039) ومسلم (2175) وهذا لفظه).

“Nabi صلى الله عليه وسلم pernah I’tikaf, maka aku mendatangi beliau di malam hari untuk mengunjunginya. Lalu aku mengajak beliau bicara. Kemudian aku bangkit untuk pulang. Maka beliaupun bangkit bersamaku untuk mengantarku pulang.”
 Rumahnya ada di Dar Usamah bin Zaid.

Lalu ada dua orang Anshor lewat. Manakala mereka melihat Nabi صلى الله عليه وسلم merekapun mempercepat langkah. Maka Nabi صلى الله عليه وسلم berkata: “Berjalanlah dengan tenang, wanita ini adalah Shofiyyah Binti Huyayy.” Maka keduanya berkata: “Subhanalloh, wahai Rosululloh.” Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya setan itu berjalan pada diri anak Adam bagaikan aliran darah, dan aku khawatir dia melemparkan ke dalam hati kalian kejelekan” atau “sesuatu”. (HR. Al Bukhoriy (2039) dan Muslim (2175) dan ini adalah lafazh beliau).

Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Di dalam hadits ini, ada anjuran untuk menjaga diri dari menyodorkan diri kepada prasangka buruk dari manusia pada seseorang, juga upaya mencari keselamatan dan mengemukakan udzur dengan udzur yang disyariatkan,… dst” (“Syarhun Nawawiy”/13/hal. 380).

Sesungguhnya kasus “gelar Ustadz” ini mencuat ketika salah seorang penulis di situs AL ULUM AS SALAFIYYAH yang bernama Ali bin Ibrahim Jihaaf menulis tanpa pemeriksaan salah seorang masyayikhus sunnah, tentang Dzul Qornain Al Indonesiy dan tentang gelar ustadz. Sang penerjemah hanya ingin mengambil perkataan tentang Dzul Qornain Al Indonesiy saja, namun amanah ilmiyyah mengharuskannya untuk menerjemahkan semuanya, tanpa dia sendiri setuju tentang cercaan orang tadi terhadap gelar “Ustadz”.

Seharusnya sang penerjemah memberikan catatan kaki untuk meluruskan sikap yang berlebihan dari sang penulis tadi, tapi Alloh menghendaki adanya ujian. Kemudian juga ternyata pendapat yang berlebihan tadi juga punya pendukung. Semoga Alloh mengampuni kita semua. Akhirnya tersebarlah tulisan pendek tadi dan menyebabkan para hizbiyyun punya peluang untuk menekan Ahlussunnah.

Yang penting sekarang ini adalah: di hadapan para pembaca telah tersaji pembahasan singkat tentang “Gelar Ustadz”, insya Alloh semuanya dibangun di atas hujjah, tanpa ada kecondongan hawa nafsu kepada kelompok ini dan itu, dan tanpa sikap gentar kepada celaan orang yang mencela.

ORANG YANG HUJJAHNYA LEBIH KUAT, DIALAH YANG LEBIH BERHAK UNTUK UCAPANNYA TADI DIIKUTI KARENA ALLOH TA’ALA, KARENA AGAMA INI HANYALAH MILIK ALLOH, TEGAK DI ATAS HUJJAH DAN BURHAN, BUKAN DI ATAS NAFSU, TAQLID DAN PERASAAN.

Ana sendiri kurang suka dipanggil sebagai “Ustadz” karena ana paham betapa lemahnya ilmu ana, dan betapa kurangnya kemahiran ana. Tapi karena pembahasannya sekarang adalah tentang hukum pemakaian gelar ini, maka jawabannya adalah sebagaimana yang akan datang berikut ini, dengan idzin Alloh.

Semoga Alloh memberikan taufiq-Nya kepada sang penulis dan para pembaca.

Bab Pertama: Makna “Ustadz”
 Muhammad Murtadho Az Zabidiy رحمه الله mengatakan bahwasanya USTADZ (الأستاذ) dengan huruf alif yang didhommah –dibangun di atas pendapat bahwasanya alif di sini adalah asli- maknanya adalah: ROIS (pemimpin). Dan gelar ini dulunya merupakan gelar bagi Abu Muhammad Abdulloh bin Muhammad bin Ya’qub Al Bukhoriy As Sidzmuniy, yang meninggal tahun 340 H( ). (lihat “Tajul ‘Arus” hal. 2376, karya Az Zabidiy).

Az Zabidiy رحمه الله juga yang mengatakan bahwasanya USTADZ merupakan kata a’jamiy (bukan asli bahasa Arob), yang maknanya adalah: orang yang mahir dalam suatu perkara yang agung, dan dalam mengobati penyakit. Dan lafazh ini tidak ditemukan pada ucapan orang jahiliyyah. Orang awwam mengucapkannya dengan makna KHOSHIYY karena dia itu secara umum adalah mendidik anak-anak kecil. Al Hafizh Abul Khoththob Ibnu Dihyah dalam kitab beliau yang diberi nama “Al Muthrib Fi Asy’ari Ahlil Maghrib” berkata: USTADZ  merupakan kata-kata yang bukan dari Arob, dan tidak ditemukan dalam syair jahiliy. Orang-orang awwam mengistilahkan jika mereka mengagungkan seseorang yang mereka cintai, mereka memanggilnya dengan sebutan USTADZ. Mereka itu hanyalah mengambil yang demikian itu dari: orang yang mahir dalam suatu bidang, karena terkadang di bawah tangannya ada anak-anak yang dididiknya. Maka seakan-akan dia adalah USTADZ  dalam bagusnya adab. Demikianlah yang diceritakan kepada kami oleh sekelompok orang dari Baghdad, di antara mereka adalah Abul Faroj Ibnul Jauziy. (lihat “Tajul ‘Arus” hal. 2397).

Muhammad bin Abdirrouf Al Munawiy رحمه الله berkata: USTADZ adalah orang yang mahir dalam suatu perkara. Ini adalah lafazh a’jamiy yang di’arobkan, karena huruf SIIN dan DZAAL tidak berjumpa dalam lafazh Arob selamanya. (“At Ta’arif”/Al Munawiy/hal. 54).

Hampir sama dengan itu perkataan Ahmad bin Muhammad Al Fuyumiy رحمه الله dalam “Al Mishbahul Munir” (1/hal. 14)

Dalam “Al Mu’jamul Wasith” (1/hal. 35) karya Ibrohim Mushthofa dkk: USTADZ adalah seorang pengajar, dan seorang yang mahir dalam suatu bidang yang bisa diketahui oleh orang lain juga. Dia juga julukan ilmiyyah di perguruan tinggi. Jama’nya adalah ASATIDZAH dan ASATIIDZ.

Jadi gelar atau julukan ini dulunya merupakan istilah asing, lalu dimasukkan ke dalam bahasa Arob dan diperkenalkan dalam kamus-kamus bahasa Arob.

Bab Kedua: Pemakaian Gelar “Ustadz” di Kalangan Salaful Ummah dan Aimmah
 Sesungguhnya gelar USTADZ sudah masuk dan dipakai di zaman As Salafush Sholih dan para imam setelah mereka. Ana telah menemukan banyak sekali pemakaian ini, akan tetapi yang ana tampilkan pada kesempatan ini hanyalah beberapa contoh saja.

Pertama: Sufyan Ats Tsauriy رحمه الله (wafat th 161 H) menjuluki Syu’bah رحمه الله sebagai Ustadz
 Abu Qutaibah Salm bin Qutaibah رحمه الله berkata:
 قدمت الكوفة فأتيت سفيان الثوري فقال لي من أين أنت قلت من أهل البصرة قال ما فعل أستاذنا شعبة.
 “Aku tiba di Kufah, lalu aku mendatangi Sufyan Ats Tsauriy. Maka beliau berkata padaku: “Dari manakah engkau?” Aku menjawab: “Dari penduduk Bashroh.” Maka beliau bertanya: “Apa yang dilakukan oleh ustadz kami Syu’bah?” (“Muqoddimatul Jarh Wat Ta’dil”/Ibnu Abi Hatim/hal. 70).

Kedua: Ali bin Hamzah Al Kasa’iy رحمه الله (wafat th 189 H) memanggil Hamzah bi Habib Az Zayyat رحمه الله sebagai Ustadz
 Ad Duuriy رحمه الله berkata:
 قال لي الكسائي: كنت أقرأ على حمزة، فجاء سليم، فتلكأت، فقال حمزة: تهابه ولا تهابني ؟ قلت: أيها الاستاذ، أنت إن أخطأت، قومتني، وهذا إن أخطأت، عيرني. (سير أعلام النبلاء /9 /376)
 “Al Kasa’iy berkata kepadaku: “Dulu aku membaca di hadapan Hamzah, lalu datanglah Salim, maka akupun tersendat-sendat. Maka Hamzah berkata: “Apakah engkau takut padanya dan tidak takut kepadaku?” Aku menjawab: “Wahai Ustadz, Anda, jika saya melakukan suatu kekeliruan, Anda meluruskan saya. Sementara orang ini, jika saya melakukan suatu kekeliruan, dia mencerca saya.” (“Siyar A’lamin Nubala”/9/hal. 376).

Ketiga: Al Imam Yahya bin Ma’in رحمه الله (wafat th 233 H) juga mempergunakan istilah Ustadz.
 Beliau رحمه الله berkata:
 سمعت من عبد الرزاق كلاما استدللت به على ما ذكر عنه من المذهب فقلت له ان أستاذيك الذين أخذت عنهم ثقات كلهم أصحاب سنة معمر ومالك وابن جريج والثوري والأوزاعي فعمن أخذت هذا المذهب قال قدم علينا جعفر بن سليمان فرأيته فاضلا حسن الهدي فأخذت هذا عنه. (“تهذيب التهذيب”/2/ص572-573/ الرسالة).
 “Aku mendengar dari Abdurrozzaq suatu perkataan yang dengannya aku mengambil dalil tentang madzhab yang dianutnya yang disebutkan oleh orang-orang. Kukatakan padanya: “Sesungguhnya para ustadz Anda, yang Anda mengambil hadits dari mereka, semuanya adalah para pengikut sunnah: Ma’mar, Malik, Ibnu Juroij, Ats Tsauriy dan Al Auza’iy. Maka darimanakah Anda mengambil madzhab ini (tasyayyu’)?” Maka beliau menjawab: “Ja’far bin Sulaiman datang kepada kami, dan kulihat dia itu orang yang mulia, sikapnya baik, maka aku ambil madzhab tersebut darinya.” (“Tahdzibut Tahdzib”/2/hal. 572-573).

Keempat: Al Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله (wafat th 241 H) menjuluki beberapa tokoh sebagai ustadz
 Al Imam Abu ‘Ubaid Qosim bin Sallam رحمه الله dipuji pada imam di zamannya. Ibnu Ma’in bilang: “Abu Ubaid tsiqoh,” Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Abu Ubaid termasuk orang yang tiap hari bertambah baik di sisi kami.” Al Imam Ahmad juga berkata:
 أبو عبيد أستاذ
 “Abu Ubaid adalah ustadz.”
 (lihat “Siyar A’lamin Nubala”/10/hal. 504).
 Al Murrudziy رحمه الله berkata: aku bertanya pada Abu Abdillah (Al Imam Ahmad bin Hanbal) tentang ‘Ashim bin Abin Nujud, maka beliau menjawab:
 هو أستاذ أبي بكر بن عياش، ليس به بأس، وكأنه لينه.
 “Dia adalah ustadz (yang mengajar) Abu Bakr bin ‘Ayyasy, tidak apa-apa.”
 Seakan-akan beliau menghukuminya agak lembek.” (lihat “Sualatil Murrudziy” /sebagaimana dalam “Mausu’ah Aqwalil Imam Ahmad Fil Jarh Wat Ta’dil”/3/hal. 451).

Kelima: Al Imam Ahmad bin Sholih Al Mishriy رحمه الله (wafat th 248 H) menjuluki Al Imam Ahmad bin Hanbal sebagai ustadz
 Dalam mudzakaroh antara Al Imam Ahmad bin Hanbal dengan Ahmad bin Sholih:
 ثم قال أحمد بن حنبل: تعال حتى نذكر ما روى الزهري عن أولاد الصحابة. فجعلا يتذاكران، ولا يغرب أحدهما على الآخر إلى أن قال لاحمد بن صالح: عند الزهري: عن محمد بن جبير ابن مطعم، عن أبيه، عن عبدالرحمن بن عوف: قال النبي صلى الله عليه وسلم: ” ما يسرني أن لي حمر النعم، وأن لي حلف المطيبين.
 فقال أحمد بن صالح لاحمد بن حنبل: أنت الاستاذ، وتذكر مثل هذا ؟ ! فجعل أحمد يتبسم، ويقول: رواه عن الزهري رجل مقبول أو صالح عبدالرحمن بن إسحاق. فقال: من رواه عن عبدالرحمن ؟ فقال: حدثناه ثقتان: إسماعيل بن علية، وبشر بن المفضل، فقال أحمد بن صالح: سألتك بالله إلا أمليته علي، فقال أحمد: من الكتاب. فقام ودخل، فأخرج الكتاب، وأملى عليه، فقال أحمد بن صالح: لو لم أستفد بالعراق إلا هذا الحديث لكان كثيرا، ثم ودعه وخرج.

Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata marilah kita menyebutkan apa yang diriwayatkan oleh Az Zuhriy dari anak-anak Shohabat.” Maka mulailah keduanya mudzakaroh. Satu sama lain tidak bisa membikin temannya mendapati hadits yang asing bagi dirinya, hingga Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata pada Ahmad bin Sholih: “Az Zuhriy juga punya riwayat dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari ayahnya, dari Abdurrohman bin ‘Auf bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Aku tidak merasa senang mendapatkan onta-onta merah tapi aku membatalkan perjanjian Muthibin (perjanjian untuk tidak membantu orang yang berbuat zholim di Makkah).”

Maka Ahmad bin Sholih berkata pada Ahmad bin Hanbal: “Anda adalah sang Ustadz, apakah anda akan menyebutkan seperti ini?!” maka Ahmad bin Hanbal tersenyum dan berkata: yang meriwayatkan dari Az Zuhriy adalah orang yang diterima atau sholih: Abdurrohman bin Ishaq.” Maka Ahmad bin Sholih bertanya: “Siapakah yang meriwayatkannya dari Abdurrohman?” Beliau menjawab: “Dua orang tsiqoh memberikan hadits itu pada kami: Isma’il bin ‘Ulayyah dan Bisyr ibnul Mufadhdhol.” Maka Ahmad bin Sholih berkata: “Aku minta kepada anda dengan nama Alloh untuk mendiktekannya kepadaku.” Maka Al Imam Ahmad berkata: “Saya akan diktekan dari kitab.” Lalu beliau bangkit dan masuk rumah, kemudian mengeluarkan kitab dan mendiktekan kepadanya. Maka Ahmad bin Sholih berkata: “Seandainya saya tidak mengambil faidah di Iroq selain hadits ini, niscaya ini sudah banyak.” Lalu dia berpamitan dan keluar. (“Siyar A’lamin Nubala”/12/hal. 170).

Keenam: Al Imam Muslim bin Hajjaj (wafat th 261 H) menjuluki Al Imam Al Bukhoriy رحمه الله ustadz bagi para ustadz
 Muhammad bin Hamdun رحمه الله berkata:
 سمعت مسلم بن الحجاج، وجاء إلى البخاري فقال: دعني أقبل رجليك يا أستاذ الاستاذين، وسيد المحدثين، وطبيب الحديث في علله. (سير أعلام النبلاء /12 /432)
 “Aku mendengar Muslim ibnul Hajjaj, dalam keadaan beliau datang ke Al Bukhoriy seraya berkata: “Biarkanlah saya mencium kedua kaki anda wahai Ustadz dari para ustadz, dan tuan dari para ahli hadits, serta dokter dalam penyakit hadits.” (lihat “Siyar A’lamin Nubala”/Adz Dzahabiy/12/hal. 432 dan “Al Bidayah Wan Nihayah”/Ibnu Katsir/11/hal. 26).

Ketujuh: Al Imam Abu Ali Husain bin Ali An Naisaburiy رحمه الله (wafat th 349 H) memanggil Imamul Aimmah Abu Bakr Ibnu Khuzaimah رحمه الله dengan “ustadz”.
 Abu Ali An Naisaburiy رحمه الله berkata:
 قلت لابن خزيمة: لو حدث الاستاذ عن محمد بن حميد، فإن أحمد بن حنبل قد أحسن الثناء عليه. قال: إنه لم يعرفه، ولو عرفه كما عرفناه، لما أثنى عليه أصلا.
 “Aku berkata kepada Ibnu Khuzaimah: “Andaikata Ustadz mau menyampaikan hadits dari Ibnu Humaid, karena sesungguhnya Ahmad bin Hanbal telah memujinya.” Maka beliau menjawab: “Sesungguhnya beliau tidak tahu keadaan Ibnu Humaid. Andaikata beliau mengenalinya sebagaimana kami mengenalinya niscaya beliau tak akan memujinya sama sekali.” (lihat “Siyar A’lamin Nubala”/11/hal. 504).

Kedelapan: Al Hafizh Abu Bakr Muhammad bin Umar Al Ji’abiy رحمه الله (wafat th 355 H) juga menjuluki Al Imam Abu Ali An Naisaburiy رحمه الله sebagai Ustadz
 Al Hakim رحمه الله berkata:
 كان أبو علي يقول: ما رأيت في أصحابنا مثل أبي بكر الجعابي، حيرني حفظه، فحكيت هذا للجعابي، فقال: يقول أبو علي هذا وهو أستاذي على الحقيقة ؟! (سير أعلام النبلاء /16 /ص55-56)
 “Dulu Abu Ali berkata: “Belum pernah kulihat dari para sahabat kami yang semisal dengan Abu Bakr Al Ji’abiy, hapalannya mengagumkanku.” Maka kuceritakan hal itu pada Al Ji’abiy, maka beliau menjawab: “Abu Ali ini berkata demikian padahal beliau adalah ustadzku secara hakiki?!” (“Siyar A’lamin Nubala”/16/hal. 55-56).

Kesembilan: Al Hafizh Abdul ‘Aziz bin Ahmad Al Kattaniy رحمه الله (wafat th 366 H) menjuluki Al Hafizh Tamam sebagai ustadz
 Beliau رحمه الله berkata:
 توفي أستاذنا أبو القاسم تمام الحافظ لثلاث خلون من المحرم سنة أربع عشرة وأربع مئة. قال: وكان ثقة حافظا، لم أر أحفظ منه في حديث الشاميين. (سير أعلام النبلاء /17 /291).
 “Ustadz kami Abul Qosim Tamam Al Hafizh meninggal tiga hari sebelum penghabisan Muharrom pada tahun 414 H. beliau itu tsiqoh, hafizh. Belum pernah kulihat orang lebih hapal daripada beliau tentang hadits Ahlusy Syam.” (“Siyar A’lamin Nubala”/17/hal. 291).

Kesepuluh: Al Imam Abusy Syaikh Abdulloh bin Muhammad Al Ashbahaniy رحمه الله (wafat th 369 H) memuji Al Imam Ibnu Mandah رحمه الله sebagai ustadz
 Demikian pula Al Imam Ibnu Mandah رحمه الله dipuji sebagai ustadz dari para syaikh. Al Imam Abusy Syaikh  dalam “Tarikh” beliau berkata tentangnya:
 هو أستاذ شيوخنا وإمامهم
 “Beliau adalah ustadz dari para syaikh kami dan imam mereka.” (“Siyar A’lamin Nubala”/14/hal. 189).

Kesebelas: Al Imam Al Hakim An Naisaburiy رحمه الله (wafat th 405 H) beberapa tokoh sebagai Ustadz
 Al Imam Al Hakim رحمه الله berkata tentang Abu Ja’far Abdulloh Al Musnadiy رحمه الله:
 هو إمام الحديث في عصره بما وراء النهر بلا مدافعة، وهو أستاذ البخاري. (سير أعلام النبلاء /10 /659)
 “Beliau adalah imam hadits pada zamannya, di belakang sungai Jaihun tanpa ada sanggahan. Dan beliau adalah ustadz dari Al Bukhoriy.” (lihat “Siyar A’lamin Nubala”/10/hal. 659).
 Al Imam Abu Hafsh Umar bin Salm An Naisaburiy رحمه الله juga beliau juluki sebagai ustadz. Al Imam Abu Abdillah Al Hakim An Naisaburiy رحمه الله berkata:
 قدم نيسابور لصحبة الاستاذ أبي حفص النيسابوري، ولم يختلف مشايخنا أن أبا عثمان كان مجاب الدعوة، وكان مجمع العباد والزهاد. ولم يزل يسمع ويجل العلماء ويعظمهم. (سير أعلام النبلاء /14 /63)
 “Beliau -Abu Utsman- tiba di Naisabur untuk menyertai Al Ustadz Abu Hafsh An Naisaburiy. Dan para masyayikh kami tidak berselisih pendapat bahwasanya Abu Utsman itu mujabud da’wah (orang yang terkabulkan doanya), dan beliau adalah terpat berkumpul para ahli ibadah dan ahli zuhd. Beliau terus-menerus mencari hadits, memuliakan ulama dan mengagungkan mereka.” (“Siyar A’lamin Nubala”/14/hal. 63).
 Al Imam Al Hakim رحمه الله berkata tentang Abul Walid Hassan bin Muhammad Al Faqih:
 “Aku mendengar Al Ustadz Abul Walid berkata: …” (“Siyar A’lamin Nubala”/14/hal. 543).

Keduabelas: Al Hafizh Abu Ya’la Al Kholil bin Abdillah Al Qozwainiy رحمه الله (wafat th 446 H) menjuluki beberapa tokoh sebagai ustadz
 Beliau berkata:
 يحيى بن سعيد القطان إمام بلا مدافعة أستاذ احمد بن حنبل. (الإرشاد/1/237)
 “Yahya bin Sa’id Al Qoththon adalah imam tanpa ada sanggahan, beliau adalah ustadz dari Ahmad bin Hanbal.” (“Al Irsyad Fi Ma’rifatil Muhadditsin”/1/hal. 237).
 Beliau juga berkata tentang Al Imam Waki’ ibnul Jarroh رحمه الله:
روى عنه استاذه سفيان الثوري (الإرشاد /2 /570).
 “Ustadznya, Sufyan Ats Tsauriy, meriwayatkan dari beliau.” (“Al Irsyad”/2/hal. 570).
 Beliau juga bilang tentang Al Imam Al Bukhoriy رحمه الله:
وروى عنه أستاذه المسندي أحاديث. (الإرشاد /3 /958).
 “Ustadznya, Al Musnadiy, meriwayatkan dari beliau beberapa hadits.” (“Al Irsyad”/3/hal. 958).

Ketigabelas: Al Imam Al Baihaqiy رحمه الله (wafat th 458 H) menjuluki Al Imam Abu Utsman Ash Shobuniy رحمه الله sebagai ustadz
 Al Imam Al Baihaqiy رحمه الله berkata:
 وقرأت بخط الأستاذ أبي عثمان رحمه الله في كتاب الدعوات عقيب حديث النزول : قال الأستاذ أبو منصور يعني الحمشاذي على إثر الخبر : وقد اختلف العلماء… (الأسماء والصفات للبيهقي/2 /489).
 “Aku membaca dengan tulisan tangan Al Ustadz Al Imam Abu ‘Utsman –yakni: Ash Shobuniy- semoga Alloh merohmatinya dalam kitab “Ad Da’awat” setelah menyebutkan haditsun nuzul (tentang turunnya Alloh ke langit dunia): “Al Ustadz Abu Manshur –yakni: Al Jamsyadziy- berkata: para ulama telah berselisih…” (kitab “Al Asma Wash Shifat”/Al Baihaqiy/2/hal. 489).

Keempatbelas: Abdul Ghofir bin Isma’il Al Farisiy رحمه الله (wafat th 529 H) menjuluki Al Imam Abu Utsman Ash Shobuniy رحمه الله sebagai ustadz
 Abdul Ghofir رحمه الله dalam kitab beliau “As Siyaq” ( ) berkata tentang Al Imam Abu ‘Utsman Ash Shobuniy:
 الأستاذ أبو عثمان إسماعيل الصابوني شيخ الاسلام، المفسر المحدث، الواعظ، أوحد وقته في طريقه، وعظ المسلمين سبعين سنة، وخطب وصلى في الجامع نحوا من عشرين سنة، وكان حافظا، كثير السماع والتصانيف، حريصا على العلم، (“سير أعلام النبلاء” /18 /41).
 “Al Ustadz Abu ‘Utsman Isma’il Ash Shobuniy, Syaikhul Islam, Al Mufassir, Al Muhaddits, Al Wa’izh, tokoh tertinggi di zamannya di jalannya, memberikan petuah pada Muslimin selama tujuh puluh tahun, berkhuthbah dan sholat di Al Jami’ sekitar dua puluh tahun. Beliau itu hafizh, banyak mendengar hadits, banyak karya tulisnya, sangat bersemangat untuk mendapatkan ilmu…” (“Siyar A’lamin Nubala”/18/hal. 41).

Kelimabelas: Gelar USTADZ juga dikenal di zaman Al Imam Abu Umar Utsman Ibnush Sholah رحمه الله (wafat th 643 H)
 Beliau رحمه الله berkata:
 الذي اختاره الاستاذ أبو منصور، وذكر أنه الصحيح من المذهب، أنه يعتبر خلاف داود. (سير أعلام النبلاء /13 /106).
 “Yang dipilih oleh Al Ustadz Abu Manshur dan beliau menyebutkan bahwasanya itulah yang shohih dari madzhab mereka, maka yang demikian itu menyelisihi Dawud –Azh Zhohiriy-“. (“Siyar A’lamin Nubala”/13/hal. 106).

Keenambelas: Al Imam An Nawawiy رحمه الله (wafat th 676 H) menjuluki Al Imam Abu Ishaq Al Isfirayiniy رحمه الله sebagai ustadz
 Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata:
 وقال الاستاذ أبو إسحاق الاسفراينى الفقيه الشافعي الامام في علم الاصولين والفقه وغير ذلك
 “Al Ustadz Abu Ishaq Al Isfirayiniy Al Faqih Asy Syafi’iy, imam dalam ilmu para ushuliyyin fiqh dan yang lainnya, berkata: …” (“Syarh Shohih Muslim”/An Nawawiy/1/hal. 22).

Ketujuhbelas: Istilah USTADZ sebagai pengajar juga digunakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله (wafat th 738 H).
 Beliau رحمه الله berkata:
 لا يجوز لأحد أن يؤخر صلاة النهار إلى الليل ولا يؤخر صلاة الليل إلى النهار لشغل من الأشغال لا لحصد ولا لحرث ولا لصناعة ولا لجنابة ولا نجاسة ولا صيد ولا لهو ولا لعب ولا لخدمة أستاذ ولا غير ذلك بل المسلمون كلهم متفقون على أن عليه أن يصلي الظهر والعصر بالنهار ويصلى الفجر قبل طلوع الشمس ولا يترك ذلك لصناعة من الصناعات ولا للهو ولا لغير ذلك من الأشغال…إلخ.
 “Tidak boleh bagi seorangpun untuk mengakhirkan sholat siang ke malam hari, dan tidak boleh pula mengakhirkan sholat malam ke siang hari karena suatu kesibukan, baik itu memanen, bercocok tanam, produksi, janabah, najis, berburu, bersenda gurau, bermain, melayani ustadz, ataupun yang lainnya. Bahkan Muslimin semuanya bersepakat untuk sholat Zhuhur dan Ashr di siang hari, sholat Fajar sebelum terbit matahari, dan tidak meninggalkannya karena kesibukan berproduksi, ataupun senda gurau, dan kesibukan yang lainnya,…” (“Majmu’ul Fatawa”/22/hal. 28).

Kedelapanbelas: Al Imam Adz Dzahabiy رحمه الله (wafat th 748 H) juga menjuluki beberapa tokoh sebagai Ustadz
 Al Imam Adz Dzahabiy رحمه الله berkata tentang Al Imam Abu Ishaq Al Isfirayiniy رحمه الله sebagai ustadz:
 الامام العلامة الاوحد، الاستاذ، أبو إسحاق، إبراهيم بن محمد بن إبراهيم بن مهران، الاسفراييني الاصولي الشافعي، الملقب ركن الدين. أحد المجتهدين في عصره، وصاحب المصنفات الباهرة. (سير أعلام النبلاء /17 /353).
 “Beliau adalah Al Imam Al ‘Allamatul Auhad Al Ustadz Abu Ishaq Ibrohim bin Muhammad bin Ibrohim bin Mihron Al Isfirayiniy Al Ushuliy Asy Syafi’iy, yang dijuluki sebagai Ruknuddin, salah seorang mujtahid pada masanya, pemilik karya tulis yang mengagumkan.” (“Siyar A’lamin Nubala”/17/hal. 353).
 Al Imam Adz Dzahabiy رحمه الله berkata dalam tarjumah Al Imam Abu Utsman Al Hairiy رحمه الله (meninggal tahun 298 H):
الشيخ الامام المحدث الواعظ القدوة، شيخ الاسلام، الاستاذ أبو عثمان، سعيد بن إسماعيل … (سير أعلام النبلاء /14 /ص62-63).
 “Asy Syaikh Al Imam Al Muhaddits Al Wa’izh Al Qudwah, Syaikhul Islam, Al Ustadz Abu Utsman Sa’id bin Isma’il…”(lihat “Siyar A’lamin Nubala”/14/hal. 63).
 Al Imam Adz Dzahabiy رحمه الله berkata:
توفي الاستاذ أبو حفص سنة أربع وستين ومئتين. (سير أعلام النبلاء /12 /513).
 “Al Ustadz Abu Hafsh meninggal pada tahun dua ratus enam puluh empat Hijriyah.” (“Siyar A’lamin Nubala”/12/hal. 513).
 Al Imam Adz Dzahabiy رحمه الله berkata:
الاستاذ * الشيخ الامام الفقيه العلامة المحدث، عالم ما وراء النهر، أبو محمد الاستاذ عبد الله بن محمد بن يعقوب بن الحارث بن خليل، الحارثي البخاري الكلاباذي الحنفي، المشهور بعبد الله الاستاذ. (سير أعلام النبلاء /15 /424)
 “Al Ustadz Asy Syaikh Al Imam Al Faqih Al ‘Allamah Al Muhaddits, seorang alim dari belakang sungai Jaihun, Abu Muhammad Al Ustadz Abdulloh bin Muhammad bin Ya’qub bin Al Harits bin Kholil Al Haritsiy Al Bukhoriy Al Kalabadziy Al Hanafiy, terkenal sebagai Abdulloh Al Ustadz.” (“Siyar A’lamin Nubala”/15/hal. 424).

Kesembilanbelas: Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله (wafat th 751 H) juga menjuluki beberapa tokoh sebagai Ustadz
 Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata tentang Abu Ishaq Al Isfirayiniy:
فأما ما يتعلق بالآخرة فقال الأستاذ أبو إسحاق:…إلخ
 “Adapun untuk perkara yang terkait dengan akhirat, Al Ustadz Abu Ishaq berkata:…”
 (“Ahkam Ahlidz Dzimmah”/hal. 165).
 Memang Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله juga menggunakan lafazh USTADZ ini saat membicarakan orang yang ahli dalam suatu bidang. Beliau berkata:
 يمكن المعترض مشاركة ذلك الأستاذ الحاذق في صناعته
 “Memungkinkan bagi sang pembantah untuk bersekutu dengan ustadz yang ahli dalam bidangnya tersebut…” (“Ash Showa’iqul Mursalah”/4/hal. 1558).
 Beliau رحمه الله juga berkata:
وقال الأستاذ محمد بن يوسف:  والأجود أن لا يشد القبضة أولا ويشدها آخرا . (الفروسية /ص 473).
 “Al Ustadz Muhammad bin Yusuf berkata: “Dan yang lebih bagus adalah: hendaknya genggamannya itu tidak diperkeras pada kali yang pertama, lalu pada akhirnya menggenggamnya dengan keras.” (“Al Furusiyyah”/hal. 47).
 Beliau رحمه الله juga berkata tentang keutamaan ilmu:
ان سليمان لما توعد الهدهد بأن يعذبه عذابا شديدا او يذبحه إنما نجا منه بالعلم واقدم عليه في خطابه له بقوله احطت بما لم تحط به خبرا وهذا الخطاب إنما جرأه عليه العلم وإلا فالهدهد مع ضعفه لا يتمكن من خطابه لسليمان مع قوته بمثل هذا الخطاب لولا سلطان العلم. ومن هذا الحكاية المشهورة ان بعض اهل العلم سئل عن مسالة فقال لا اعلمها فقال احد تلامذته انا اعلم هذه المسألة. فغضب الاستاذ وهم به فقال له ايها الاستاد لست اعلم من سليمان بن داود ولو بلغت في العلم ما بلغت ولست انا اجهل من الهدهد وقد قال لسليمان احطت بما لم تحط به فلم يعتب عليه ولم يعنفه.
 “Bahwasanya Sulaiman ketika mengancam burung Hud Hud bahwasanya beliau akan menyiksanya dengan siksaan yang keras atau akan menyembelihnya. Hanyalah si Hud Hud selamat selamat dari beliau dengan ilmu dan berbicara dengan beliau dengan mengatakan:”Saya mengetahui suatu perkara yang belum Paduka ketahui ilmunya.” Hanya ilmu sajalah yang memberanikan dirinya untuk mengajukan pembicaraan ini. Jika tidak demikian, maka Hud Hud dengan kelemahannya tidak mungkin bisa berbicara dengan Sulaiman yang perkasa, dengan ucapan seperti ini andaikata bukan karena kekuatan ilmu. Dan termasuk dari bab ini adalah kisah yang terkenal, bahwasanya sebagian ahli ilmu ditanya tentang suatu masalah, maka dia menjawab: “Aku tidak mengetahuinya.” Lalu salah seorang muridnya menjawab:”Saya mengetahui masalah ini.” Maka ustadz tadi marah dan berniat menghukumnya. Maka sang murid berkata: “Wahai Ustadz, Anda tidak lebih tahu daripada Sulaiman bin Dawud sekalipun Anda telah mencapai ilmu yang tinggi, dan saya tidaklah lebih bodoh daripada Hud Hud, sementara dia berkata pada Sulaiman: ”Saya mengetahui suatu perkara yang belum Paduka ketahui ilmunya.” Maka ustadz tadi tidak mencelanya dan tidak pula menghardiknya.” (“Miftah Daris Sa’adah”/1/hal. 173).

Keduapuluh: Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله (wafat th 774 H) juga menjuluki beberapa tokoh sebagai Ustadz
 Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata:
الأستاذ أبو عثمان الصابوني  إسماعيل بن عبد الرحمن بن أحمد بن إسماعيل بن عامر بن عابد النيسابوري الحافظ الواعظ المفسر قدم دمشق وهو ذاهب إلى الحج فسمع بها وذكر الناس وقد ترجمه ابن عساكر ترجمة عظيمة. (البداية والنهاية/12 /76).
 “Al Ustadz Abu ‘Utsman Ash Shobuniy Isma’il bin Abdirrohman bin Ahmad bin Ismail bin Amir bin Abid An Naisaburiy Al Hafizh Al Wa’izh, Al Mufassir. Beliau tiba di Dimasyq ketika beliau mau pergi berhaji, lalu beliau mendengarkan hadits di sana, dan mengingatkan manusia. Ibnu ‘Asakir telah membuat biografi yang agung untuk beliau.” (“Al Bidayah Wan Nihayah”/12/hal. 76).
 Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata:
الأستاذ أبو منصور  عبدالقاهر بن طاهر بن محمد البغدادي الفقيه الشافعي أحد الأئمة في الأصول والفروع وكان ماهرا في فنون كثيرة من العلوم. (البداية والنهاية /12 /44)
 “Al Ustadz Abu Manshur Abdul Qohir bin Thohir bin Muhammad Al Baghdadiy Al Faqih Asy Syafi’iy, salah seorang imam dalam ushul dan furu’, mahir dalam cabang-cabang ilmu yang banyak.” (“Al Bidayah Wan Nihayah”/12/hal. 44).
 Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata:
وهو الأستاذ أبو إسحاق الإسفراييني إبراهيم بن محمد بن مهران الشيخ أبو إسحاق الإمام العلامة ركن الدين. (البداية والنهاية /12 /24).
 “Beliau adalah Al Ustadz Abu Ishaq Al Isfirayiniy Ibrohim bin Muhammad bin Mihron Asy Syaikh Abu Ishaq Al Imam Al ‘Allamah Ruknuddin…” (“Al Bidayah”/12/hal. 24).
 Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata tentang Al Imam Ad Daruquthniy:
الحافظ الكبير أستاذ هذه الصنعة ، وقبله وبعده ، إلى زماننا هذا. (موسوعة أقوال الدارقطني /2 /6)
 “Al Hafizh Al Kabir Ustadz di bidang ini pada masa sebelumnya, sesudahnya sampai pada masa kita ini.” (“Mausu’atu Aqwalid Daruquthniy”/2/hal. 6).
 Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata tentang Muhammad bin Zuroiq:
الشاعر محمد بن زريق بن سليمان كان أستاذ الشعراء. (البداية والنهاية /10 /238).
 “Sang penyair Muhammad bin Zuroiq bin Sulaiman, dulu beliau adalah ustadz bagi para penyair.” (“Al Bidayah”/10/hal. 238).
 Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata:
وهكذا رويناه في الجزء الذي جمعه الأستاذ أبو محمد عبدالله بن جعفر بن درستويه في أخبار قس. (البداية والنهاية /2 /231).
 “Demikianlah kami riwayatkan dari juz yang dikumpulkan oleh Al Ustadz Abu Muhammad Abdulloh bin Ja’far bin Durstuwaih tentang berita-berita negri Quss.” (“Al Bidayah”/2/hal. 231).  Setelah zaman Al Imam Ibnu Katsir banyak sekali pemakaian gelar USTADZ sampai pada hari ini.

Dari hasil pembahasan yang amatlah terbatas ini, yang nampak bagi ana adalah: pemakaian lafazh USTADZ di zaman As Salafush Sholih dan zaman para imam setelah mereka itu telah tersebar, tanpa ditemukannya penentang. Bahkan dialog-dialog di antara mereka memberikan kesan bahwasanya mereka tidak menganggap bahwasanya gelar ini berbahaya atau menyimpang. Bahkan mereka terkesan telah menganggap biasa pujian tersebut dan tak perlu dipermasalahkan.

Maka yang zhohir bagi ana adalah: manakala budaya diniyyah (adat keagamaan) Salaf dan para imam itu lebih baik daripada budaya diniyyah generasi setelahnya, maka kita lebih baik mengikuti mereka, selama tiada dalil shohih shorih  (jelas) menentang itu, dan kita tak perlu mempermasalahkan perkara yang telah ada di kalangan mereka dan tidak ditemukan adanya penentang. والله أعلم

Bab Tiga: Apakah Gelar “Ustadz” Termasuk Syi’ar Ikhwanul Muslimin?
 Adapun dugaan sebagian orang bahwasanya gelar “Ustadz” termasuk syi’ar Ikhwanul Muslimin, maka perlu kita lihat dulu arti dari “Syi’ar” itu sendiri.

Ibnu Manzhur رحمه الله berkata:
والشِّعارُ العلامة في الحرب وغيرها وشِعارُ العساكر أَن يَسِموا لها علامة ينصبونها ليعرف الرجل بها رُفْقَتَه.
 “Syi’ar adalah alamat dalam peperangan dan sebagainya. Syi’ar tentara adalah: mereka membuat suatu alamat untuk diri mereka, mereka memancangkannya agar seseorang mengenal rekannya dengan alamat tadi.” (“Lisanul ‘Arob”/4/hal. 410).
 Ibnul Atsir رحمه الله berkata: “Dalam hadits:
ومنه الحديث [ أنَّ شِعارَ أصحاب النبي صلى اللّه عليه وسلم كان في الغَزْوِ يا منصُورُ أمِتْ أمِتْ ] أي عَلامَتهم التي كانوا يتعارفُون بها في الحرب. (النهاية في غريب الأثر /2 /1169).
 “Bahwasanya syi’ar para shohabat Nabi صلى الله عليه وسلم dalam peperangan adalah: “Ya manshur amit amit”.”. yaitu: ini adalah alamat mereka yang dulu dengannya mereka mereka saling mengenal dalam perang.” (“An Nihayah Fi Ghoribil Atsar”/2/hal. 1169).
 Ar Roghib Al Ashbahaniy رحمه الله berkata:
والشعار أيضا ما يشعر به الانسان نفسه في الحرب أي يعلم. (مفردات غريب القرآن /ص 262).
 ”Dan syi’ar juga, adalah sesuatu yang dengannya seorang manusia itu memperkenalkan diri dalam perang, yaitu agar orang mengetahui dirinya.” (“Mufrodat Ghoribil Qur’an”/hal. 262).
 Berdasarkan definisi di atas dapatlah kita tarik kesimpulan bahwasanya SYI’AR adalah ALAMAT YANG DENGANNYA SESEORANG ITU DIKENAL.

Kemudian kita lihat bahwasanya Ikhwanul Muslimin tidaklah menjadikan gelar USTADZ sebagai alamat bagi firqoh mereka. Bahkan gelar ini biasa dipakai oleh kelompok-kelompok yang lain, juga di masyarakat awwam, dan bahkan di kalangan Ahlussunnah. Bahkan gelar ini telah dikenal jauh sebelum berdirinya Ikhwanul Muslimin. Ana dapati di berbagai literatur kuno, bahwasanya gelar ini biasa dipakai oleh orang-orang shufiy, ahli filsafat, masyarakat muslimin, juga di tingkat kerajaan, dan di kalangan ahlul hadits dan fiqh. Maka gelar ini bukan hak khusus suatu firqoh sehingga kita dikatakan telah tasyabbuh (menyerupakan diri) dengan mereka. Apalagi jika kita melakukannya karena Salaf juga melakukannya, bukan karena faktor firqoh Ikhwanul Muslimin.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata tentang sikap kita terhadap amalan Ahlul Kitab:
أنا منهيون عن التشبه بهم فيما لم يكن سلف الأمة عليه ، فأما ما كان سلف الأمة عليه ، فلا ريب فيه ؛ سواء فعلوه ، أو تركوه. (اقتضاء الصراط المستقيم/1 /372).
 “Kita dilarang untuk menyerupakan diri dengan mereka dalam perkara yang tidak ada pada Salaful Ummah. Adapun perkara yang ada pada Salaful Ummah, maka itu tiada keraguan padanya (tentang bolehnya dikerjakan), sama saja mereka (Ahlul Kitab) mengerjakannya ataukah meninggalkannya).” (“Iqtidhoush Shirothol Mustaqim”/1/hal. 372).

Gelar USTADZ bukanlah syi’ar Ikhwanul Muslimin, yaitu bukan alamat yang dengannya mereka dikenal, karena gelar ini bukanlah kekhususan mereka. Ini hanyalah istilah bagi seorang pengajar, atau orang yang mahir dalam suatu bidang.

Demikianlah jawaban ana terhadap beberapa surat dari sebagian ikhwah, semoga bisa mengobati kegalauan hati, dengan objektif, adil, ilmiyyah tanpa ada kecondongan kepada siapapun kecuali pada kebenaran.
 -selesai- 

KUNYAH DISYARI`ATKAN WALAU SESEORANG TIDAK PUNYA ANAK

Al Imam Abu Daawuud dalam “Sunan-nya” menjelaskan kepada kita tentang disyari`atkannya memakai kunyah, kata beliau dalam: “Bab yang menjelaskan tentang seorang lelaki yang tidak mempunyai anak memakai kunyah.”

Bersabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam:

عن أنس بن مالك، قال : كان رسول الله يدخل علينا ولي أخ صغير يكنى أبا عمير، وكان له نغر يلعب به، فمات، فدخل عليه النبي صلىالله عليه وسلم ذات يوم فرآه حزينا، فقال : “ماشأنه”؟ قالوا :مات نغره، فقال : “يا أبا عمير، ما فعل النغير؟”

Artinya :

Dari Anas bin Maalik, berkata dia : Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam pernah masuk ke rumah kami dan saya mempunyai yang kecil yang berkunyah Aba `Umeiir. Dia memiliki seekor burung kecil dan dia bermain dengannya. Pada suatu hari datang lagi An Nabiy Shollallahu `alaihi wa Sallam ke rumahnya dan beliau melihatnya dalam keadaan sedih, maka berkatalah Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam :

“Kenapa dia?”

Mereka menjawab: “Telah mati burungnya yang kecil itu.”

Lantas Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam berkata : “Ya Aba `Umeiir, apa yang terjadi dengan an nugeiir?”

[ Hadist dikeluarkan oleh : Al Imam Al Bukhariy (7/133 no. 6129, dan hal. 155 no. 6203)-

“Baab Al Kunyah Lisshobiy wa Qabla An Yuulad Lirrajuli”

(Bab kunyah bagi anak yang masih kecil dan sebelum dilahirkan bagi seorang lelaki tersebut),

Muslim (3/1692 no. 2150), Abu Daawuud (5/251-252 no. 4969), At Tirmidziy (2/154 no. 333 dan 4/314 no. 1989), berkata Abu `Iisaa : “Hadist Anas hadist hasan shohih,” Ibnu Maajah (2/1226 no. 3720).

Berkata Al Imam Al Khatthaabiy rahimahullahu Ta`aalaa ketika beliau menerangkan diantara fiqhi hadist ini adalah : “Bahwa Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam memanggil kunyahnya, sedangkan dia tidak mempunyai anak, maka hal ini bukanlah termasuk dalam bab dusta.

Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Nasa’i dari Abu Syuraih bahwasanya dulu ia dinamakan Abul Hakam, maka bersabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam kepadanya:

“Sesungguhnya Allah adalah Al-Hakam dan kepada-Nyalah berhukum.” Abu Syuraih berkata: “Sesungguhnya kaumku bila mereka berselisih dalam suatu perkara mereka datang kepadaku agar aku memutuskan di antara mereka, maka menjadi ridlalah kedua pihak dengan keputusanku.” Beliau bersabda: “Alangkah bagusnya yang demikian! Siapa saja nama anak-anakmu?” Aku menjawab: “Syuraih, Muslim dan `Abdullah.” Beliau bersabda: “Siapa yang tertua di antara mereka?” Aku menjawab: “Syuraih.” “Kalau begitu engkau adalah Abu Syuraih,” sabda beliau. (Hadits shahih. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud juz 3 no. 4145)

Sabda beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam:

( اكتني [ بابنك عبد الله، يعني ابن الزبير] أنت أم عبد الله ).

Artinya : “Berkunyahlah kamu dengan anakmu `Abdullah, maksudnya Ibnuz Zubeiir, kamu adalah Ummu `Abdillah.”

[ Lihat : “Silsilatul Ahaadist As Shohiihah” (205-207, no. 132) ].

Imam Ahlus Sunnah wal Jamaa`ah dan Mujaddid pada abad ini, As Syaikh Muhammad Naashiruddiin Al Albaaniy rahimahullahu Ta`aalaa telah menjelaskan tentang “Masyruu`iyyatut Takannaa” di dalam kitab beliau “as shohiihah” dengan judul :

“At~Takannaa Mimman laisa lahu Walad.”

Artinya: (Berkunyah, disyari`atkannya memakai kunyah bagi seseorang walaupun dia tidak ada anak).

Berkata As Syaikh Al Albaaniy rahimahullahu Ta`aalaa bahwa hadith di atas menunjukkan bahwa kunyah disyariatkan juga bagi mereka yang sudah menikah namun tidak memiliki anak:

“Dan hadist ini menunjukan akan “masyruu`iyyatut Takannaa” (disyari`atkan memakai kunyah) walaupun bagi seseorang yang tidak mempunyai anak. Dan ini merupakan adabun islaamiyyun (adab islam) yang tidak ada pada ummat ummat yang lainnya sepanjang pengetahuan saya, maka atas kaum muslimiin hendaklah mereka berpegang teguh dengannya, baik dari kalangan kaum lelaki maupun kaum wanita, kemudian hendaklah mereka meninggalkan segala bentuk adat istiadat orang orang kuffar yang telah menyelusup, seperti “Al Beiik,” “Al Afandiy,” “Al Baasyaa,”dan selainnya.”

Bila kita membaca sirah para a-immatis Salaf rahimahumullahu Ta`aalaa, masing-masing mereka semua mempunyai kunyah. Bahkan `ulama yang tidak pernah nikah saja mempunyai kunyah, seperti;

# Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah-kunyah beliau adalah Abbul `Abbaas, (“Al Waasithiyyah,” hal. 21),

# Al Imam An Nawawiy-kunyahnya adalah Abu Zakariya. “Dan tidak ada Zakariya baginya,” kata As Syaikh Saliim Al Hilaaliy, (“Bahjatun Naazhiriin,” 1/8),

# Al Imam Muhammad bin Jariir bin Yaziid At Thobariy-kunyanya Abu Ja`far-Ibnu Jariir termasuk Al `Ulama Al `Uzzaab-tidak pernah nikah dan tidak pernah sempat beliau untuk itu, bahkan saking terjaganya beliau dari perbuatan ma`shiyat beliau berkata :

“Tidak pernah saya melorotkan celana saya pada yang halal dan juga pada yang haram sama sekali.”

Kunyah adalah nama yang dimulai dengan kata “abu” (bapak) bila yang diberi kunyah itu laki-laki dan dimulai dengan “ummu” (ibu) bila yang diberi kunyah itu perempuan, misalnya Abu Muhammad (bapaknya Muhammad) dan Ummu Muhammad (ibunya Muhammad). Demikian pula kunyah dengan memakai kata “ibnu” (putra) dan “ibnatu” atau “bintu” (putri), seperti Ibnu `Umar dan bintu Rasulillah shallallahu `alaihi wa sallam. Memberi kunyah ini merupakan perkara yang sunnah, namun sayangnya banyak ditinggalkan oleh kaum muslimin.




Dan kami pernah mendengar rekaman seorang hizby bernama Luqman Ba'abduh yang menganjurkan untuk meninggalkan kunyah abu dan ummu dengan istilah "bapak" dan "ibu" karena ketakutannya dengan cemoohan masyarakat, walllohulmusta'an, berkata Alloh ta'ala,


إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (١٧٥)

Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (Ali Imron: 175)

Berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ

“Terus menerus ada sekelompok dari ummatku yang mereka tetap nampak di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang mencerca mereka sampai datang ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka dalam keadaan seperti itu”.

Dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Tsauban dan semakna dengannya diriwayatkan oleh Bukhary dan Muslim dari hadits Mughiroh bin Syu’bah dan Mu’awiyah dan diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah. Dan hadits ini merupakan hadits mutawatir sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho` Ash-Shirath Al-Mustaqim 1/69, Imam As-Suyuthy dalam Al-Azhar Al-Mutanatsirah hal.216 dan dalam Tadrib Ar-Rawi, Al Kattany dalam Nazhom Al-Mutanatsirah hal.93 dan Az-Zabidy dalam Laqthul `Ala`i hal.68-71. Lihat : Bashoir Dzawisy Syaraf Bimarwiyati Manhaj As-Salaf.

Maka memakmurkan kunyah lebih sesuai sunnah dan meninggalkan istilah "ustadz" untuk tamayyuz (membedakan diri) dengan hizbyyin masa kini tidak mengapa, bukan berarti terlarang menggunakannya secara mutlaq (selama tidak ada tahazzub dan ghuluw padanya). Barokallohu fiikum, wallohu walyyuttaufiiq.

Post a Comment