BENANG MERAH YANG TERSEMBUL ANTARA SYI’AH ROFIDHOH DAN YAHUDI DALAM URAIAN BUHUL
ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Andalasy Waffaqohulloh
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم تسليما كثيرا أما بعد:
Sebagaimana penyimpangan agama Yahudi dan Nashrani mendapat pengaruh dari beragam pemikiran dan keyakinan menyimpang sebelum mereka, maka kelompok-kelompok sesat yang menyandarkan diri kepada Islam, juga menampakkan adanya pengaruh nyata dari agama maupun pemikiran sebelum Islam. Banyak penyimpangan kelompok-kelompok sesat berasal dari pemahaman pendahulu mereka seperti Yahudi, Nashrani, Majusi, Hindu, Budha, filsafat dll. Hal ini sebagaimana kabar yang telah disebutkan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ
“Sungguh kalian akan mengikuti sunnah (jalan) orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai mereka masuk ke lubang Dhobb, kalian akan mengikutinya”.
Kami katakan: “Wahai Rosululloh, apakah Yahudi dan Nashrani?”.
Beliau menjawab:
فَمَنْ
“Maka siapa lagi”. (HR Bukhory dari Abu Sa’id Rodhiyallohu ‘Anhu)
Penyebutan Yahudi dan Nashrani dalam hadits itu bukanlah pembatasan, hanya saja keduanya masyhur dengan agama samawi. Hal ini sebagaimana disebutkan di hadits yang lain, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ القُرُونِ قَبْلَهَا، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ
“Tak akan terjadi hari kiamat, sampai umatku mengambil dari kurun-kurun sebelumnya, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta”.
Dikatakan kepada beliau: “Wahai Rosululloh, apakah Persia dan Romawi?”.
Beliau menjawab:
وَمَنِ النَّاسُ إِلَّا أُولَئِكَ
“Siapa lagi manusia kecuali mereka”. (HR Bukhory dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu)
Ketika itu Persia dan Romawi adalah kerajaan yang paling besar dan paling luas, wilayahnya, dan Persia dikenal sebagai daerah Majusi.
Salah satu sekte yang masuk ke makna ini adalah sekte munafik Syi’ah Rofidhoh. Meskipun mereka banyak mengadopsi pemahaman dari para pendahulunya yang beraneka ragam namun warna Yahudi lebih tampak mencolok terutama di mata orang-orang yang mempelajari seluk-beluk mereka.
Oleh karena itu pembahasan ini insya Alloh sebagai pembuka terhadap pembahasan-pembahasan lain yang lebih memprioritaskan pada penampakan hubungan kedua kelompok ini, Wallohul Musta’an.
IBNU SABA’ ALIAS IBNU SAUDA’ YAHUDI BERBAJU SYI’AH
Sudah mashyur di kitab-kitab Ahlussunnah maupun kitab-kitab ulama syi’ah terdahulu tentang kiprah ‘Abdulloh bin Saba’, seorang Yahudi yang kemudian mengaku Islam, lantas memfasilitasi masuknya pemahaman Yahudi dengan menampakkan loyalitas kepada ‘Ali bin Abi Tholib.
Pengingkaran terhadap sosok Ibnu Saba’ baru muncul di sebagian orang belakangan dari kalangan syi’ah, orientalis, maupun dari beberapa penulis yang mengaku sunny, dengan alasan bahwa kisah Ibnu Saba’ sengaja disusupkan oleh musuh syi’ah untuk menjelekkan syi’ah. Namun teori mereka tidaklah sepadan dengan pengakuan dari para pentolan syi’ah sendiri dari kalangan terdahulu maupun belakangan, diantaranya:
An-Nasyi’ Al-Akbar (meninggal 293) menyebutkan nama ini ketika menyinggung sekte Saba’iyyah, dia mengatakan: “Kelompok yang meyakini bahwa ‘Ali ‘Alaihis Salaam msih hidup belum mati, dan bahwasanya dia tidak akan mati sampai dia menggiring orang-orang arab dengan tongkatnya. Mereka (penganut sekte tersebut) adalah Saba’iyyah pengikut ‘Abdulloh bin Saba’. Dahulu ‘Abdulloh bin Saba’ adalah seorang Yahudi dari penduduk Shon’a”. [Ushulun Nihal, dinukil dari Madzahibul Islamiyyin 2/43]
Al-‘Asy’ary Al-Qummy (meninggal 301): Kelompok ini dinamakan Saba’iyyah para pengikut ‘Abdulloh bin Saba’. Dia adalah ‘Abdulloh bin Wahb Ar-Rosiby Al-Hamdany. Dia dibantu untuk (menyebarkan pemahamannya) itu oleh ‘Abdulloh bin Harosy dan Ibnu Aswad, keduanya termasuk tokoh penting dari pengikutnya. Dahulu Ibnu Saba’ adalah orang pertama yang menampakkan -secara terang-terangan- cacian serta menyatakan sikap berlepas diri terhadap Abu Bakar ‘Umar ‘Utsman dan para shohabat”. [Al-Maqolat wal Firoq 20]
An-Nubakhty (ulama besar Syi’ah abad ketiga) mengatakan: “Sekelompok ulama pengikut ‘Ali ‘Alaihis Salam menghikayatkan bahwa ‘Abdulloh bin Saba’ dahulu seorang Yahudi kemudian masuk Islam dan loyal kepada ’Ali. Dahulu -ketika dia berada dalam agama Yahudi- dia meyakini Yusya’ bin Nun setelah Musa ‘Alaihis Salaam dengan wacana ini (yaitu setiap Nabi memiliki Washi[1]). Maka ketika dia Islam dia mengatakan hal yang sama pada ‘Ali setelah wafatnya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. [Firoqusy Syi’ah 22]
Al-Kisyi (meninggal 369) menyebutkan Ibnu Saba’ dalam lima riwayat yang disandarkan kepada para imam mereka. Diantaranya adalah riwayat yang mereka sandarkan kepada Abu Ja’far Al-Baqir: “Sesungguh ‘Abdulloh bin Saba’ dahulu mengaku-ngaku sebagai nabi dan menyangkan bahwa Amirul Mukminin (yakni ‘Ali) ‘Alaihis Salaam adalah Alloh. Hal tersebut sampai Amirul Mukminin ‘Alaihis Salaam, maka beliau memanggilnya dan menanyakan perihal tersebut dan Ibnu Saba’ mengiyakannya, dia berkata: “Iya engkau adalah Dia, telah dibisikkan ke sukmaku bahwa engkau adalah Alloh dan aku adalah nabi”. [Rijalul Kisyi 70-71]
Ash-Shoduq (meninggal 381) membawakan hadits dalam masalah do’a, dimana ‘Abdulloh bin Saba’ mengatakan: “Wahai Amirul Mukminin, bukankan Alloh berada di setiap tempat[2]?”. [Man Laa Yahdhuruhul Faqih 1/229]
Ibnu Abil Hadid (meninggal 656) mengatakan: “Orang pertama yang terang-terangan menampakkan sikap ghuluw di zamannya (yakni ‘Ali) adalah ‘Abdulloh bin Saba’. Dia berdiri ketika ‘Ali sedang khutbah dan mengatakan kepadanya: “Engkau, Engkau”, dan dia terus mengulanginya. ‘Ali berkata kepadanya: “Celaka engkau siapa saya?”. Dia menjawab: “Engkau adalah Alloh”. Maka ‘Ali memerintahkan untuk menangkapnya, dan ditangkap juga kaum yang bersamanya di atas pemikirannya”. [Al-Khishol 628]
Sosok ‘Abdulloh bin Saba’ ini juga ditetapkan Ni’matulloh Al-Jaza’iry (meninggal 1112), Al-Mamiqony (meninggal 1351) serta selain mereka.
DETEKSI DINI ULAMA SUNNY
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh, menyebutkan beberapa riwayat ke salah seorang ulama tabi’i yang masyhur ‘Amir bin Syuraahil Asy-Sya’by Rahimahulloh, dimana beliau mewanti-wanti Malik bin Mighwal tentang Al-Khosyabiyyah.
Istilah Rofidhoh belum dikenal di zaman Asy-Sya’by, istilah tersebut baru masyhur di kisah pemberontakan Zaid bin ‘Ali -Semoga Alloh mengampuninya- yang akhirnya menyebabkannya terbunuh. Di zaman Asy-Sya’by mereka dikenal dengan Al-Khosyabiyyah nisbat kepada khosyab (kayu), hal itu dikarenakan wacana yang mereka sebarkan ketika itu bahwasanya mereka tidak akan berperang dengan pedang kecuali bersama imam ma’shum (suci dari kesalahan) karena itu mereka berperang dengan kayu.
Asy-Sya’by Rahimahulloh mengatakan; “Wahai Malik, seandainya aku menginginkan mereka memberikan leher-leher mereka sebagai budak, mereka memenuhi rumahku dengan emas, atau mereka melakukan haji ke rumahku ini dengan imbalan aku berdusta atas nama ‘Ali, maka sungguh mereka akan melakukannya. Tidak, demi Alloh aku tidak akan berdusta atas namanya selamanya.
Wahai Malik aku telah mempelajari ahlul ahwa’, dan aku tidak melihat ada yang lebih dungu dari Al-Khosyabiyyah. Kalaulah mereka termasuk jenis burung, maka mereka adalah rokhama (sejenis burung bangkai), kalaulah mereka termasuk hewan berkaki empat maka mereka adalah keledai-keledai.
Wahai Malik, mereka tidaklah masuk ke dalam Islam dalam keadaan mereka senang di dalamnya karena Alloh, tidak juga karena takut dari Alloh. Namun hal itu karena kebencian dan kesewenangan mereka terhadap penduduk Islam, mereka ingin merendahkan agama Islam sebagaimana Paulus bin Yusya’ seorang raja Yahudi merendahkan agama Nashrani. Sholat-sholat mereka tak melebihi azan-azan mereka. ‘Ali telah membakar mereka dan membuang mereka dari negerinya. Diantara mereka adalah ‘Abdulloh bin Saba’ seorang Yahudi dari Yahudi Shon’a, ‘Ali membuangnya ke Sabath, serta Abu Bakr Al-Karowwas dia buang ke Al-Jabiyah. ‘Ali membakar kaum yang datang kepadanya dan berkata: “Engkau adalah Dia”. Maka ‘Ali berkata: “Siapakah saya?”. Mereka menjawab: “Engkau adalah Robb kami”. Maka ‘Ali menyuruh dinyalakan api, setelah menyala maka mereka dilemparkan ke dalamnya. Pada merekalah ‘Ali Rodhiyallohu ‘Anhu berkata:
لَمَّا رَأَيْتُ الْأَمْرَ أَمْرًا مُنْكَرًا … أَجَّجْتُ نَارِي، وَدَعَوْتُ قَنْبَرَا
“Ketika aku melihat perkara itu adalah perkara yang mungkar maka aku menyalakan apiku, dan aku panggil burung-burung itu.
Wahai Malik, sesungguhnya bencana mereka adalah bencana Yahudi”. (Kemudian beliau menyebutkan sisi-sisi kemiripan Syi’ah Rofidhoh dengan Yahudi) [Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah 1/28-30]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh mengatakan setelahnya: “Atsar ini diriwayatkan dari ‘Abdurrohman bin Malik bin Mighwal dari sisi yang bermacam-macam, sebagiannya membenarkan yang lain, dan sebagiannya menambah yang lain. Akan tetapi ‘Abdurrohman bin Malik bin Mighwal dho’if(riwayatnya lemah). Adapun celaan Asy-Sya’by terhadap mereka telah sah dari jalan-jalan yang lain (yakni selain jalan ‘Abdurrohman bin Malik bin Mighwal)”.
Beliau Rahimahulloh berkata: “Yang terlihat (dari atsar ini) bahwa konteksnya merupakan susunan dan rangkaian ‘Abdurrohman bin Malik bin Mighwal, dan dia telah mendengar beberapa sisi pada atsar itu dari Asy-Sya’by.
Baik atsar itu dialah (‘Abdurrohman) yang merangkai ataupun menyusunnya berdasarkan apa yang dia lihat dari perkara-perkara Syi’ah di zamannya, apa-apa yang dia dengar dari mereka, apa yang dia dengar dari perkataan para ulama atau sebagiannya tentang mereka, atau karena dua perkara sekaligus (yakni persaksiannya dan persaksian para ulama), atau sebagiannya begini dan sebagiannya begitu, (yang jelas) perkataan (dalam atsar) ini dimaklumi dengan dalil-dalil, perkataan ini tidak butuh pada penukilan dan sanad”. [Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah 1/34-36]
Perkataan Syaikhul Islam tersebut mengisyaratkan kepada poin terbesar yang tidak bisa dielakkan Syi’ah Rofidhoh akan hubungan mereka dengan Yahudi, yaitu banyaknya kecocokan mereka dalam manhaj dan keyakinan. Terlebih lagi pada akidah-akidah Rofidhoh yang menyendiri dari kelompok-kelompok lain yang menyandarkan diri kepada Islam, jika dicermati maka akan didapatkan bahwa akidah-akidah tersebut sama persis dengan penerapannya di sisi Yahudi, atau memiliki asal dalam agama tersebut.
SYI’AH ROFIDHOH ANTI ISLAM
Yel-yel organisasi-organisasi pergerakan mereka seperti Hizbulloh di Syam ataupun Anshorulloh (Hutsiyun) di Yaman, dengan mengatakan: “Kematian bagi Amerika, kematian bagi Israel”, hanyalah sekedar kamuflase. Yang mereka bantai dan perangi justru kaum muslimin, karena itulah yang memang menjadi tujuan mereka. Sebaliknya loyalitas mereka dinampakkan kepada-orang-orang kafir, dan itulah kenyataannya dari masa ke masa.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh mengatakan: “Rofidhoh mencintai Tartar dan negara mereka, karena mereka mendapatkan kemuliaan dengan adanya negara Tartar, perkara yang tidak mereka dapatkan di negara muslimin. Rofidhoh adalah penolong para musyrikin, Yahudi dan Nashrani untuk memerangi muslimin. Merekalah dahulu yang menjadi sebab terbesar masuknya Tartar -sebelum islamnya mereka- ke daerah timur (yakni) Khurasan, Irak, dan Syam. Merekalah kaum yang paling besar pertolongannya bagi Tartar untuk merebut negeri-negeri muslimin, membunuh mereka dan menawan para wanita mereka (muslimin). Kasus Ibnu Al-Alqomy dan semisalnya bersama Kholifah dan kasus mereka di Halab bersama penduduk Halab, adalah perkara yang masyhur diketahui segenap manusia, demikian juga di peperangan-peperangan antara muslimin dan Nashrani di pesisir Syam. Para pakar telah mengetahui bahwasanya Rofidhoh bersama Nashrani dalam melawan muslimin. Merekalah yang menolong orang-orang kafir untuk merebut negeri-negeri ketika datangnya Tartar. Berat bagi Rofidoh penaklukan ‘Akkah (oleh muslimin) dan kota-kota lainnya (milik Nashrani) di pesisir (Syam). Apabila muslimin mengalahkan Nashrani dan kaum musyrikin (Tartar) maka itu menjadi kesedihan bagi Rofidhoh. Apabila kaum musyrikin dan Nashrani mengalahkan muslimin maka itu jadi perayaan dan kegembiraan di sisi Rofidhoh”. [Majmu’ul Fatawa 28/527-528]
Masuknya Hulagu Khan ke Iraq sekitar tahun 658, tak terlepas dari peran Rofidhoh yang ketika itu menyebar di desa-desa dan kota-kota seperti Halab, Damaskus dan selainnya. Bahkan Ibnul ‘Alqomy seorang Rofidhi yang menjadi salah seorang menteri Kholifah ‘Abbasy ketika itu, dialah yang berusaha meyakinkan Hulagu Khan untuk masuk Iraq demi menggulingkan sang Kholifah. Dia jugalah yang dari dalam sibuk mengacaukan pergerakan kholifah ketika Hulagu dan pasukannya memasuki Iraq. [Lihat: Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah 6/374-375]
Kisah Hulagu Khan dan pasukannya di Iraq tercatat sebagai ladang pembantaian terbesar terhadap kaum muslimin dalam sejarah, sampai-sampai disebutkan bagaimana sungai Dajlah berubah warnanya menjadi merah. Terkadang sungai itu juga berubah menjadi warna biru karena banyak kitab-kitab ilmu yang menjadi khazanah umat Islam, dilemparkan ke dalamnya.
Demikian halnya sikap yang dinampakkan Rofidhoh di perang salib dimana mereka menampakkan loyalitasnya terhadap Nashrani, dan membenci penaklukan kota-kota Nashrani oleh kaum muslimin. Bahkan di tahun Ghozan (599) ketika Syam kosong dari tentara muslimin, mereka berbuat berbagai kerusakan di daerah yang dikuasai muslimin, dengan pembunuhan dan perampasan harta, mengangkat bendera salib, mengutamakan Nashrani di atas muslimin. Mereka membawa tawanan, harta dan senjata dari muslimin kepada Nashrani di Siprus dan selainnya. [Lihat: Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah 6/375]
Ini tak terlepas akan keyakinan mereka menyikapi ahlussunnah (yang biasa mereka sebut denganNashiby, Wahhaby ataupun ‘Awwamun Naas). Banyak riwayat-riwayat -yang tak lepas dari kedustaan- yang mereka riwayatkan dari para Imam mereka yang menunjukkan perkara ini, diantaranya.
Al-Kulainy menghikayatkan dari Muhammad bin ‘Ali Al-Baqir: “Sesungguhnya manusia semuanya adalah anak pelacur kecuali Sy’iah kita”.
Juga diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad Ash-Shodiq, dia berkata: “Sesungguhnya syaithan melakukan akad dengan perempuan sebagaimana seorang lelaki melakukan akad dengan perempuan. Dia (syaithon) berbicara sebagaimana dia (seorang lelaki) berbicara dan menikah sebagaimana dia menikah”. Maka berkata seorang penanya: “Dengan indikasi apa kita mengenal hal itu? Dengan apa kita mengehui apakah yang menikahi wanita ini adalah syaithon atau manusia? Bagaimana kita mengetahui yang menikahi perempuan tersebut?”. Maka dia menjawab: “Dengan kecintaan dan kebencian kepada kita. Barangsiapa yang mencintai kita maka dia (berasal) dari air mani seorang hamba. Barangsiapa yang membenci kita maka dia (berasal) dari air mani syaithon. [Al-Kafy 5/239, 502]
Mereka juga menghikayatkan dari Daud bin Farqod bahwasanya dia berkata kepada Abu ‘Abdillah ‘Alaihis Salaam: “Apa pendapatmu tentang pembunuhan sunny?”. Dia berkata: “Mereka halal darahnya. Akan saya tetapi saya melakukan taqiyyah di depannya. Apabila engkau mampu menggulingkan pagar ke atasnya, atau menenggelamkannya di air agar tidak ada yang bisa bersaksi atas perbuatanmu, maka lakukanlah”. Aku (Daud) berkata): “Bagaimana pendapatmu atas hartanya?”. Dia menjawab: “Musnahkan apa yang engkau mampu”. [Wasaa-il Syi’ah 18/463, Al-Anwarul Nu’maniyyah 2/308, Biharul Anwar 27/231]
Ath-Thusi menghikayatkan dari Abu ‘Abdillah Ja’far: “Ambillah harta Nashiby (mereka juga menamakan ahlussunnah sengan nama sekte ini) dimanapun engkau mendapatkannya. Dan serahkan kepada kami seperlimanya”. [Tahdzibul Ahkam 4/122]
Al-Majlisy menghikayatkan dari Ja’far bin Muhammad: “Tak ada yang tersisa antara kita dan arab kecuali penyebelihan”. Kemudian dia mengisyaratkan tangannya ke lehernya”. [Biharul Anwar 52/349]
Ni’matulloh Al-Jazairy mengatakan: “Sesungguhnya ‘Ali bin Yaqthin seorang menteri Ar-Rosyid (memiliki penjara) yang telah berkumpul di dalamnya para penyelisih. Lantas dia memerintahkan pengawalnya untuk meruntuhkan atap penjara. Maka semua tawanan mati, jumlah mereka adalah lima puluh orang”.[Anwarul Nu’maniyah 3/308]
Sehingga Al-Khumainy La’natulloh mengatakan: “(Pendapat) yang paling kuat adalah memasukkanNashiby ke dalam hukum ahlul harb (musuh yang memerangi), dalam masalah bolehnya apa-apa yang kita rampas darinya, serta terkaitnya rampasan itu dengan hukum khumus (yakni wajibnya mengeluarkan seperlimanya untuk ahlul bait)”.
Dia berkata: Yang jelas dalam masalah ini, bolehnya mengambil hartanya dimanapun didapatkan, dan dengan cara apapun. Serta wajib mengeluarkan seperlimanya”. [Tahrirul Wasiilah 1/352]
سبحنك وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
Darul Hadits Dammaj- Yaman
7 Syawwal 1434
Sumber http://www.ahlussunnah.web.id
[1] Yakni penerus yang diwasiatkan, insyaalloh akan datang penyebutannya secara khusus.
[2] Ini adalah keyakinan Hululiyyah yang menyimpang. Jangan dikira ‘Ali membenarkan perkara ini, hanya saja sekte ini membuat riwayat sesukanya yang bisa mendukung keyakinan mereka
ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Andalasy Waffaqohulloh
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم تسليما كثيرا أما بعد:
Sebagaimana penyimpangan agama Yahudi dan Nashrani mendapat pengaruh dari beragam pemikiran dan keyakinan menyimpang sebelum mereka, maka kelompok-kelompok sesat yang menyandarkan diri kepada Islam, juga menampakkan adanya pengaruh nyata dari agama maupun pemikiran sebelum Islam. Banyak penyimpangan kelompok-kelompok sesat berasal dari pemahaman pendahulu mereka seperti Yahudi, Nashrani, Majusi, Hindu, Budha, filsafat dll. Hal ini sebagaimana kabar yang telah disebutkan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ
“Sungguh kalian akan mengikuti sunnah (jalan) orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai mereka masuk ke lubang Dhobb, kalian akan mengikutinya”.
Kami katakan: “Wahai Rosululloh, apakah Yahudi dan Nashrani?”.
Beliau menjawab:
فَمَنْ
“Maka siapa lagi”. (HR Bukhory dari Abu Sa’id Rodhiyallohu ‘Anhu)
Penyebutan Yahudi dan Nashrani dalam hadits itu bukanlah pembatasan, hanya saja keduanya masyhur dengan agama samawi. Hal ini sebagaimana disebutkan di hadits yang lain, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ القُرُونِ قَبْلَهَا، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ
“Tak akan terjadi hari kiamat, sampai umatku mengambil dari kurun-kurun sebelumnya, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta”.
Dikatakan kepada beliau: “Wahai Rosululloh, apakah Persia dan Romawi?”.
Beliau menjawab:
وَمَنِ النَّاسُ إِلَّا أُولَئِكَ
“Siapa lagi manusia kecuali mereka”. (HR Bukhory dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu)
Ketika itu Persia dan Romawi adalah kerajaan yang paling besar dan paling luas, wilayahnya, dan Persia dikenal sebagai daerah Majusi.
Salah satu sekte yang masuk ke makna ini adalah sekte munafik Syi’ah Rofidhoh. Meskipun mereka banyak mengadopsi pemahaman dari para pendahulunya yang beraneka ragam namun warna Yahudi lebih tampak mencolok terutama di mata orang-orang yang mempelajari seluk-beluk mereka.
Oleh karena itu pembahasan ini insya Alloh sebagai pembuka terhadap pembahasan-pembahasan lain yang lebih memprioritaskan pada penampakan hubungan kedua kelompok ini, Wallohul Musta’an.
IBNU SABA’ ALIAS IBNU SAUDA’ YAHUDI BERBAJU SYI’AH
Sudah mashyur di kitab-kitab Ahlussunnah maupun kitab-kitab ulama syi’ah terdahulu tentang kiprah ‘Abdulloh bin Saba’, seorang Yahudi yang kemudian mengaku Islam, lantas memfasilitasi masuknya pemahaman Yahudi dengan menampakkan loyalitas kepada ‘Ali bin Abi Tholib.
Pengingkaran terhadap sosok Ibnu Saba’ baru muncul di sebagian orang belakangan dari kalangan syi’ah, orientalis, maupun dari beberapa penulis yang mengaku sunny, dengan alasan bahwa kisah Ibnu Saba’ sengaja disusupkan oleh musuh syi’ah untuk menjelekkan syi’ah. Namun teori mereka tidaklah sepadan dengan pengakuan dari para pentolan syi’ah sendiri dari kalangan terdahulu maupun belakangan, diantaranya:
An-Nasyi’ Al-Akbar (meninggal 293) menyebutkan nama ini ketika menyinggung sekte Saba’iyyah, dia mengatakan: “Kelompok yang meyakini bahwa ‘Ali ‘Alaihis Salaam msih hidup belum mati, dan bahwasanya dia tidak akan mati sampai dia menggiring orang-orang arab dengan tongkatnya. Mereka (penganut sekte tersebut) adalah Saba’iyyah pengikut ‘Abdulloh bin Saba’. Dahulu ‘Abdulloh bin Saba’ adalah seorang Yahudi dari penduduk Shon’a”. [Ushulun Nihal, dinukil dari Madzahibul Islamiyyin 2/43]
Al-‘Asy’ary Al-Qummy (meninggal 301): Kelompok ini dinamakan Saba’iyyah para pengikut ‘Abdulloh bin Saba’. Dia adalah ‘Abdulloh bin Wahb Ar-Rosiby Al-Hamdany. Dia dibantu untuk (menyebarkan pemahamannya) itu oleh ‘Abdulloh bin Harosy dan Ibnu Aswad, keduanya termasuk tokoh penting dari pengikutnya. Dahulu Ibnu Saba’ adalah orang pertama yang menampakkan -secara terang-terangan- cacian serta menyatakan sikap berlepas diri terhadap Abu Bakar ‘Umar ‘Utsman dan para shohabat”. [Al-Maqolat wal Firoq 20]
An-Nubakhty (ulama besar Syi’ah abad ketiga) mengatakan: “Sekelompok ulama pengikut ‘Ali ‘Alaihis Salam menghikayatkan bahwa ‘Abdulloh bin Saba’ dahulu seorang Yahudi kemudian masuk Islam dan loyal kepada ’Ali. Dahulu -ketika dia berada dalam agama Yahudi- dia meyakini Yusya’ bin Nun setelah Musa ‘Alaihis Salaam dengan wacana ini (yaitu setiap Nabi memiliki Washi[1]). Maka ketika dia Islam dia mengatakan hal yang sama pada ‘Ali setelah wafatnya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. [Firoqusy Syi’ah 22]
Al-Kisyi (meninggal 369) menyebutkan Ibnu Saba’ dalam lima riwayat yang disandarkan kepada para imam mereka. Diantaranya adalah riwayat yang mereka sandarkan kepada Abu Ja’far Al-Baqir: “Sesungguh ‘Abdulloh bin Saba’ dahulu mengaku-ngaku sebagai nabi dan menyangkan bahwa Amirul Mukminin (yakni ‘Ali) ‘Alaihis Salaam adalah Alloh. Hal tersebut sampai Amirul Mukminin ‘Alaihis Salaam, maka beliau memanggilnya dan menanyakan perihal tersebut dan Ibnu Saba’ mengiyakannya, dia berkata: “Iya engkau adalah Dia, telah dibisikkan ke sukmaku bahwa engkau adalah Alloh dan aku adalah nabi”. [Rijalul Kisyi 70-71]
Ash-Shoduq (meninggal 381) membawakan hadits dalam masalah do’a, dimana ‘Abdulloh bin Saba’ mengatakan: “Wahai Amirul Mukminin, bukankan Alloh berada di setiap tempat[2]?”. [Man Laa Yahdhuruhul Faqih 1/229]
Ibnu Abil Hadid (meninggal 656) mengatakan: “Orang pertama yang terang-terangan menampakkan sikap ghuluw di zamannya (yakni ‘Ali) adalah ‘Abdulloh bin Saba’. Dia berdiri ketika ‘Ali sedang khutbah dan mengatakan kepadanya: “Engkau, Engkau”, dan dia terus mengulanginya. ‘Ali berkata kepadanya: “Celaka engkau siapa saya?”. Dia menjawab: “Engkau adalah Alloh”. Maka ‘Ali memerintahkan untuk menangkapnya, dan ditangkap juga kaum yang bersamanya di atas pemikirannya”. [Al-Khishol 628]
Sosok ‘Abdulloh bin Saba’ ini juga ditetapkan Ni’matulloh Al-Jaza’iry (meninggal 1112), Al-Mamiqony (meninggal 1351) serta selain mereka.
DETEKSI DINI ULAMA SUNNY
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh, menyebutkan beberapa riwayat ke salah seorang ulama tabi’i yang masyhur ‘Amir bin Syuraahil Asy-Sya’by Rahimahulloh, dimana beliau mewanti-wanti Malik bin Mighwal tentang Al-Khosyabiyyah.
Istilah Rofidhoh belum dikenal di zaman Asy-Sya’by, istilah tersebut baru masyhur di kisah pemberontakan Zaid bin ‘Ali -Semoga Alloh mengampuninya- yang akhirnya menyebabkannya terbunuh. Di zaman Asy-Sya’by mereka dikenal dengan Al-Khosyabiyyah nisbat kepada khosyab (kayu), hal itu dikarenakan wacana yang mereka sebarkan ketika itu bahwasanya mereka tidak akan berperang dengan pedang kecuali bersama imam ma’shum (suci dari kesalahan) karena itu mereka berperang dengan kayu.
Asy-Sya’by Rahimahulloh mengatakan; “Wahai Malik, seandainya aku menginginkan mereka memberikan leher-leher mereka sebagai budak, mereka memenuhi rumahku dengan emas, atau mereka melakukan haji ke rumahku ini dengan imbalan aku berdusta atas nama ‘Ali, maka sungguh mereka akan melakukannya. Tidak, demi Alloh aku tidak akan berdusta atas namanya selamanya.
Wahai Malik aku telah mempelajari ahlul ahwa’, dan aku tidak melihat ada yang lebih dungu dari Al-Khosyabiyyah. Kalaulah mereka termasuk jenis burung, maka mereka adalah rokhama (sejenis burung bangkai), kalaulah mereka termasuk hewan berkaki empat maka mereka adalah keledai-keledai.
Wahai Malik, mereka tidaklah masuk ke dalam Islam dalam keadaan mereka senang di dalamnya karena Alloh, tidak juga karena takut dari Alloh. Namun hal itu karena kebencian dan kesewenangan mereka terhadap penduduk Islam, mereka ingin merendahkan agama Islam sebagaimana Paulus bin Yusya’ seorang raja Yahudi merendahkan agama Nashrani. Sholat-sholat mereka tak melebihi azan-azan mereka. ‘Ali telah membakar mereka dan membuang mereka dari negerinya. Diantara mereka adalah ‘Abdulloh bin Saba’ seorang Yahudi dari Yahudi Shon’a, ‘Ali membuangnya ke Sabath, serta Abu Bakr Al-Karowwas dia buang ke Al-Jabiyah. ‘Ali membakar kaum yang datang kepadanya dan berkata: “Engkau adalah Dia”. Maka ‘Ali berkata: “Siapakah saya?”. Mereka menjawab: “Engkau adalah Robb kami”. Maka ‘Ali menyuruh dinyalakan api, setelah menyala maka mereka dilemparkan ke dalamnya. Pada merekalah ‘Ali Rodhiyallohu ‘Anhu berkata:
لَمَّا رَأَيْتُ الْأَمْرَ أَمْرًا مُنْكَرًا … أَجَّجْتُ نَارِي، وَدَعَوْتُ قَنْبَرَا
“Ketika aku melihat perkara itu adalah perkara yang mungkar maka aku menyalakan apiku, dan aku panggil burung-burung itu.
Wahai Malik, sesungguhnya bencana mereka adalah bencana Yahudi”. (Kemudian beliau menyebutkan sisi-sisi kemiripan Syi’ah Rofidhoh dengan Yahudi) [Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah 1/28-30]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh mengatakan setelahnya: “Atsar ini diriwayatkan dari ‘Abdurrohman bin Malik bin Mighwal dari sisi yang bermacam-macam, sebagiannya membenarkan yang lain, dan sebagiannya menambah yang lain. Akan tetapi ‘Abdurrohman bin Malik bin Mighwal dho’if(riwayatnya lemah). Adapun celaan Asy-Sya’by terhadap mereka telah sah dari jalan-jalan yang lain (yakni selain jalan ‘Abdurrohman bin Malik bin Mighwal)”.
Beliau Rahimahulloh berkata: “Yang terlihat (dari atsar ini) bahwa konteksnya merupakan susunan dan rangkaian ‘Abdurrohman bin Malik bin Mighwal, dan dia telah mendengar beberapa sisi pada atsar itu dari Asy-Sya’by.
Baik atsar itu dialah (‘Abdurrohman) yang merangkai ataupun menyusunnya berdasarkan apa yang dia lihat dari perkara-perkara Syi’ah di zamannya, apa-apa yang dia dengar dari mereka, apa yang dia dengar dari perkataan para ulama atau sebagiannya tentang mereka, atau karena dua perkara sekaligus (yakni persaksiannya dan persaksian para ulama), atau sebagiannya begini dan sebagiannya begitu, (yang jelas) perkataan (dalam atsar) ini dimaklumi dengan dalil-dalil, perkataan ini tidak butuh pada penukilan dan sanad”. [Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah 1/34-36]
Perkataan Syaikhul Islam tersebut mengisyaratkan kepada poin terbesar yang tidak bisa dielakkan Syi’ah Rofidhoh akan hubungan mereka dengan Yahudi, yaitu banyaknya kecocokan mereka dalam manhaj dan keyakinan. Terlebih lagi pada akidah-akidah Rofidhoh yang menyendiri dari kelompok-kelompok lain yang menyandarkan diri kepada Islam, jika dicermati maka akan didapatkan bahwa akidah-akidah tersebut sama persis dengan penerapannya di sisi Yahudi, atau memiliki asal dalam agama tersebut.
SYI’AH ROFIDHOH ANTI ISLAM
Yel-yel organisasi-organisasi pergerakan mereka seperti Hizbulloh di Syam ataupun Anshorulloh (Hutsiyun) di Yaman, dengan mengatakan: “Kematian bagi Amerika, kematian bagi Israel”, hanyalah sekedar kamuflase. Yang mereka bantai dan perangi justru kaum muslimin, karena itulah yang memang menjadi tujuan mereka. Sebaliknya loyalitas mereka dinampakkan kepada-orang-orang kafir, dan itulah kenyataannya dari masa ke masa.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh mengatakan: “Rofidhoh mencintai Tartar dan negara mereka, karena mereka mendapatkan kemuliaan dengan adanya negara Tartar, perkara yang tidak mereka dapatkan di negara muslimin. Rofidhoh adalah penolong para musyrikin, Yahudi dan Nashrani untuk memerangi muslimin. Merekalah dahulu yang menjadi sebab terbesar masuknya Tartar -sebelum islamnya mereka- ke daerah timur (yakni) Khurasan, Irak, dan Syam. Merekalah kaum yang paling besar pertolongannya bagi Tartar untuk merebut negeri-negeri muslimin, membunuh mereka dan menawan para wanita mereka (muslimin). Kasus Ibnu Al-Alqomy dan semisalnya bersama Kholifah dan kasus mereka di Halab bersama penduduk Halab, adalah perkara yang masyhur diketahui segenap manusia, demikian juga di peperangan-peperangan antara muslimin dan Nashrani di pesisir Syam. Para pakar telah mengetahui bahwasanya Rofidhoh bersama Nashrani dalam melawan muslimin. Merekalah yang menolong orang-orang kafir untuk merebut negeri-negeri ketika datangnya Tartar. Berat bagi Rofidoh penaklukan ‘Akkah (oleh muslimin) dan kota-kota lainnya (milik Nashrani) di pesisir (Syam). Apabila muslimin mengalahkan Nashrani dan kaum musyrikin (Tartar) maka itu menjadi kesedihan bagi Rofidhoh. Apabila kaum musyrikin dan Nashrani mengalahkan muslimin maka itu jadi perayaan dan kegembiraan di sisi Rofidhoh”. [Majmu’ul Fatawa 28/527-528]
Masuknya Hulagu Khan ke Iraq sekitar tahun 658, tak terlepas dari peran Rofidhoh yang ketika itu menyebar di desa-desa dan kota-kota seperti Halab, Damaskus dan selainnya. Bahkan Ibnul ‘Alqomy seorang Rofidhi yang menjadi salah seorang menteri Kholifah ‘Abbasy ketika itu, dialah yang berusaha meyakinkan Hulagu Khan untuk masuk Iraq demi menggulingkan sang Kholifah. Dia jugalah yang dari dalam sibuk mengacaukan pergerakan kholifah ketika Hulagu dan pasukannya memasuki Iraq. [Lihat: Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah 6/374-375]
Kisah Hulagu Khan dan pasukannya di Iraq tercatat sebagai ladang pembantaian terbesar terhadap kaum muslimin dalam sejarah, sampai-sampai disebutkan bagaimana sungai Dajlah berubah warnanya menjadi merah. Terkadang sungai itu juga berubah menjadi warna biru karena banyak kitab-kitab ilmu yang menjadi khazanah umat Islam, dilemparkan ke dalamnya.
Demikian halnya sikap yang dinampakkan Rofidhoh di perang salib dimana mereka menampakkan loyalitasnya terhadap Nashrani, dan membenci penaklukan kota-kota Nashrani oleh kaum muslimin. Bahkan di tahun Ghozan (599) ketika Syam kosong dari tentara muslimin, mereka berbuat berbagai kerusakan di daerah yang dikuasai muslimin, dengan pembunuhan dan perampasan harta, mengangkat bendera salib, mengutamakan Nashrani di atas muslimin. Mereka membawa tawanan, harta dan senjata dari muslimin kepada Nashrani di Siprus dan selainnya. [Lihat: Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah 6/375]
Ini tak terlepas akan keyakinan mereka menyikapi ahlussunnah (yang biasa mereka sebut denganNashiby, Wahhaby ataupun ‘Awwamun Naas). Banyak riwayat-riwayat -yang tak lepas dari kedustaan- yang mereka riwayatkan dari para Imam mereka yang menunjukkan perkara ini, diantaranya.
Al-Kulainy menghikayatkan dari Muhammad bin ‘Ali Al-Baqir: “Sesungguhnya manusia semuanya adalah anak pelacur kecuali Sy’iah kita”.
Juga diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad Ash-Shodiq, dia berkata: “Sesungguhnya syaithan melakukan akad dengan perempuan sebagaimana seorang lelaki melakukan akad dengan perempuan. Dia (syaithon) berbicara sebagaimana dia (seorang lelaki) berbicara dan menikah sebagaimana dia menikah”. Maka berkata seorang penanya: “Dengan indikasi apa kita mengenal hal itu? Dengan apa kita mengehui apakah yang menikahi wanita ini adalah syaithon atau manusia? Bagaimana kita mengetahui yang menikahi perempuan tersebut?”. Maka dia menjawab: “Dengan kecintaan dan kebencian kepada kita. Barangsiapa yang mencintai kita maka dia (berasal) dari air mani seorang hamba. Barangsiapa yang membenci kita maka dia (berasal) dari air mani syaithon. [Al-Kafy 5/239, 502]
Mereka juga menghikayatkan dari Daud bin Farqod bahwasanya dia berkata kepada Abu ‘Abdillah ‘Alaihis Salaam: “Apa pendapatmu tentang pembunuhan sunny?”. Dia berkata: “Mereka halal darahnya. Akan saya tetapi saya melakukan taqiyyah di depannya. Apabila engkau mampu menggulingkan pagar ke atasnya, atau menenggelamkannya di air agar tidak ada yang bisa bersaksi atas perbuatanmu, maka lakukanlah”. Aku (Daud) berkata): “Bagaimana pendapatmu atas hartanya?”. Dia menjawab: “Musnahkan apa yang engkau mampu”. [Wasaa-il Syi’ah 18/463, Al-Anwarul Nu’maniyyah 2/308, Biharul Anwar 27/231]
Ath-Thusi menghikayatkan dari Abu ‘Abdillah Ja’far: “Ambillah harta Nashiby (mereka juga menamakan ahlussunnah sengan nama sekte ini) dimanapun engkau mendapatkannya. Dan serahkan kepada kami seperlimanya”. [Tahdzibul Ahkam 4/122]
Al-Majlisy menghikayatkan dari Ja’far bin Muhammad: “Tak ada yang tersisa antara kita dan arab kecuali penyebelihan”. Kemudian dia mengisyaratkan tangannya ke lehernya”. [Biharul Anwar 52/349]
Ni’matulloh Al-Jazairy mengatakan: “Sesungguhnya ‘Ali bin Yaqthin seorang menteri Ar-Rosyid (memiliki penjara) yang telah berkumpul di dalamnya para penyelisih. Lantas dia memerintahkan pengawalnya untuk meruntuhkan atap penjara. Maka semua tawanan mati, jumlah mereka adalah lima puluh orang”.[Anwarul Nu’maniyah 3/308]
Sehingga Al-Khumainy La’natulloh mengatakan: “(Pendapat) yang paling kuat adalah memasukkanNashiby ke dalam hukum ahlul harb (musuh yang memerangi), dalam masalah bolehnya apa-apa yang kita rampas darinya, serta terkaitnya rampasan itu dengan hukum khumus (yakni wajibnya mengeluarkan seperlimanya untuk ahlul bait)”.
Dia berkata: Yang jelas dalam masalah ini, bolehnya mengambil hartanya dimanapun didapatkan, dan dengan cara apapun. Serta wajib mengeluarkan seperlimanya”. [Tahrirul Wasiilah 1/352]
سبحنك وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
Darul Hadits Dammaj- Yaman
7 Syawwal 1434
Sumber http://www.ahlussunnah.web.id
[1] Yakni penerus yang diwasiatkan, insyaalloh akan datang penyebutannya secara khusus.
[2] Ini adalah keyakinan Hululiyyah yang menyimpang. Jangan dikira ‘Ali membenarkan perkara ini, hanya saja sekte ini membuat riwayat sesukanya yang bisa mendukung keyakinan mereka